Apa yang saya pelajari tentang status saya sebagai
perempuan single parent adalah bahwa sebagian besar orang lebih
tertarik pada cerita di balik status saya daripada keinginan untuk mengetahui
bagaimana keadaan saya sekarang ini bersama anak saya. Orang lebih suka
membahas status (marital) itu --secara langsung atau di belakang--- tanpa
sungkan atau malu-malu kucing bertanya, memint saya mengulang kembali cerita
tentang sebab-musababnya. Sudah beberapa tahun berlalu dan mereka masih saja fokus
pada topik yang sama. Padahal, banyak detil yang saya sudah lupa.
Percakapan pembuka yang umum dalam budaya kita
adalah pertanyaan tentang status dan anggota keluarga. Status pekerjaan, status
pernikahan, status pertemanan dengan si A atau si B. Pokoknya sesuatu yang
menunjukkan posisi kita di dalam masyarakat. Dari situ penanya akan memetakan
status sosial dan ekonomi kita dan gambaran keseharian kehidupan kita.
Kira-kira, begini salah satu ilustrasinya…
Penanya (katakanlah, ibu-ibu paruh baya, yang
baru kenal di suatu acara atau di angkot), menyap saya dengan pertanyaan,
“ Kerja dimana Mbak?”
“ Saya mengajar di X, Bu.”
“ Anak berapa, Mbak?”
“ Satu, Bu. Laki-laki,”
“ Wah beruntungnya.”
Nah, sampai di pertanyaan ini saya berharap
perkenalan basa-basi dicukupkan. Tapi biasanya, harapan itu meleset.
“ Suami kerja dimana, Mbak? PNS juga?”
“ Saya sendiri, Bu. Kebetulan sudah berpisah
dengan suami.”
(Si Ibu menunjukkan mimik terkejut, dengan alis
bertaut, mata melebar…)
“ Lho, kenapa?”
(Tentu saja sambil harap-harap cemas akan
meluncur satu cerita bak sinetron yang akan menghibur sisa harinya.)
Saya tersenyum, tidak menjawab, dengan harapan si
ibu tahu itu bukan urusannya dan berhenti bertanya.
Tapi…sekali lagi…biasanya dugaan
saya meleset.
“ Aduh, Mbak, padahal Mbak cantik masih muda lagi
…” (pancingan pertama)
Saya masih mempertahankan senyum
“ Sudah lama ya? Mbak belum menikah lagi?”
Saya masih berjuang mempertahankan senyum,
biasanya hanya menggeleng
“Tidak, Bu.”
Si Ibu, tak kalah teguh berjuang mengorek cerita
“ Anaknya bagaimana, tinggal dengan siapa?”
Saya mulai jengah dan dongkol
“ Dengan saya, Bu. Kejadiannya sudah lama, kok.
Saya sudah lupa” (senyum sudah mulai masam)
Si ibu memandang dengan wajah super prihatin,
entah tulus entah dibuat-buat, lalu keluarlah ucapan…
“Duh, kasihan…padahal masih muda, lho…”
Jreeenggg…dan saya berharap angkot belok ke
neraka…
Stigma pertama yang biasanya dilekatkan
masyarakat pada para ibu tunggal adalah kami patut dikasihani. Saya mulai
menjalani kehidupan sebagai orang tua tunggal di usia yang relatif muda, dan
mendapat curahan ungkapan ‘dikasihani’ dalam berbagai bentuk, baik ucapan
maupun tatapan mata menghiba. Sungguh tidak mudah. Tidak mudah karena itu
mengkerdilkan spirit dan menyuburkan perasaan tidak berdaya.
Jelas saya perlu bantuan. Kami, para ibu tunggal
membutuhkan support system yang kuat untuk menjalani kehidupan hari
demi hari. Tapi kami juga memiliki dan tengah membangun kekuatan kami. Kami
juga tengah membangun kepercayaan diri yang sempat runtuh akibat perpisahan.
Terlalu sering dikasihani hanya melemahkan upaya yang sedang kami lsayakan. Tak
jarang saya mendapati seorang perempuan yang baru saja menyandang status
sebagai single parent memilih menarik diri dan menolak banyak
bercerita tentang statusnya. Karena memang sungguh tidak nyaman menerima
tanggapan yang dipenuhi rasa kasihan.
Stigma kedua yang lekat pada kami adalah…. kami
selalu dan terus-menerus dicap kesepian sepanjang waktu. Oleh karenanya, kami
perlu secepatnya menemukan pendamping hidup lagi. Kami harus cepat-cepat
menikah lagi. Pernahkah terbayang bahwa seringnya itu adalah hal terakhir yang
ada di benak single moms seperti kami? Kami sudah terlampau sibuk
menata ulang hidup kami, mencari peluang untuk menstabilkan kondisi finansial,
merancang karir, melamar pekerjaan, membuka usaha. Pikiran dan energi kami
sudah tersita untuk mendampingi anak menghadapi dan melewati masa transisi
pasca-perpisahan kedua orang tuanya. Belum lagi harus jungkir balik agar
operasional kehidupan sehari-hari bisa berjalan dengan mulus.
Memang, di akhir
hari, saya akui kadang saya ingin ada kawan bertukar cerita tentang hari yang saya
lalui. Saya menerima itu sebagai bagian dari kehidupan yang saya pilih untuk dijalani.
Syukurlah selalu ada saja kawan dan sahabat yang bersedia untuk menjadi tempat
curhat.
Namun, stigma --ibu tunggal selalu kesepian-- membawa
konsekuensi yang tidak mengenakkan. Laki-laki menganggap karena rasa kesepian
yang mendera maka kami akan ‘jual murah’. Perlu dihibur, ditemani, kalau perlu
dijadikan pacar gelap. Perempuan (baca: para istri) menganggap kami identik
dengan wanita penggoda, yang siap menggoda laki-laki, para suami, karena
kesepian kami. Jadi, kami ini perlu diwaspadai. Masalahnya, stigma ini makin
diperkuat dengan banyaknya cerita film atau sinetron yang melukiskan para janda
sebagai perempuan muda cantik seksi yang kesepian, rapuh dan patut dikasihani…
Stigma ketiga adalah anak-anak dari keluarga
dengan orang tua tunggal lekat dengan predikat anak yang kurang kasih sayang,
sehingga besar kemungkinan akan tumbuh jadi anak bandel, sekolahnya
asal-asalan, ada gangguan kepribadian, bahkan kriminil.
Masalahnya adalah, tak banyak yang bisa dilakukan
untuk menepis stigma-stigma yang melekat pada kami. Membantahnya dengan melawan
secara verbal, atau memberi penjelasan berulang-ulang kadang hanya akan membuat
lelah dan semakin jengkel. Setelah beberapa tahun, saya masih melakukan uji
coba berbagai cara untuk mengatasi stigma yang melekat pada saya sebagai single
mom.
Jelas, perlawanan utama adalah dengan membuktikan
yang sebaliknya. Khusus stigma broken home, selain berdialog dengan
anak, saya juga telah mengajari anak beberapa hal.
Lalu untuk mengatasi kecenderungan dikasihani, saya
memperlakukan hal yang sama dengan yang saya ajarkan kepada anak. Hanya
bersikap terbuka dan menceritakan yang sesungguhnya pada orang penting dalam
kehidupan kami. Awalnya saya bersikukuh mengatakan saya single parent
kepada siapa pun, karena idealisme tidak ingin menafikan kenyataan. Tapi justru
untuk alasan praktis, itu ternyata sama sekali tidak praktis. Jadi supaya
percakapan yang tidak perlu tidak memanjang apalagi dengan orang yang tidak dikenal,
saya akan menjawab suamiku X bekerja di Y. Titik.
Sedangkan untuk mengatasi stigma single mom
kesepian sehingga ‘jual murah’, ‘perempuan penggoda’, etc, saya berusaha untuk
tidak memberikan kesempatan apa pun kepada yang sudah menikah atau punya
kekasih, dan hanya --misalnya-- pergi makan siang dengan yang lajang saja di saat
jam kantor, serta memastikan bahwa tidak ada anggapan lain selain pertemanan,
serta hanya urusan kerjaan. Titik.
Sepanjang pengalaman saya, para lelaki lajang
yang kadang usianya lebih muda justru tidak ‘berbahaya’. Niat mereka biasanya
murni pertemanan. Justru yang kerap harus diwaspadai adalah lelaki setengah
baya ke atas, eventhough dia sudah
S-2, S-3, sebagai pendidik juga, semua itu gak ngaruh.
Biasanya ini early warning banget untuk
diwaspadai. Because all the stories were usually lies! Bagaimana saya
tahu? Because I’ve been there..
Oleh karenanya, wahai para single moms,
kita tidak bisa memaksa orang untuk memahami keadaan kita yang sebenarnya. Tapi
kita punya hak untuk tidak hidup dalam stigma yang terlanjur dilekatkan oleh
masyarakat kepada kita.
Keep fighting
Stay calm and be a happy mom!