Thursday, June 15, 2017

Ibu Tunggal dan Stigma Masyarakat



Apa yang saya pelajari tentang status saya sebagai perempuan single parent adalah bahwa sebagian besar orang lebih tertarik pada cerita di balik status saya daripada keinginan untuk mengetahui bagaimana keadaan saya sekarang ini bersama anak saya. Orang lebih suka membahas status (marital) itu --secara langsung atau di belakang--- tanpa sungkan atau malu-malu kucing bertanya, memint saya mengulang kembali cerita tentang sebab-musababnya. Sudah beberapa tahun berlalu dan mereka masih saja fokus pada topik yang sama. Padahal, banyak detil yang saya sudah lupa.

Percakapan pembuka yang umum dalam budaya kita adalah pertanyaan tentang status dan anggota keluarga. Status pekerjaan, status pernikahan, status pertemanan dengan si A atau si B. Pokoknya sesuatu yang menunjukkan posisi kita di dalam masyarakat. Dari situ penanya akan memetakan status sosial dan ekonomi kita dan gambaran keseharian kehidupan kita.

Kira-kira, begini salah satu ilustrasinya…

Penanya (katakanlah, ibu-ibu paruh baya, yang baru kenal di suatu acara atau di angkot), menyap saya dengan pertanyaan,

“ Kerja dimana Mbak?”

“ Saya mengajar di X, Bu.”

“ Anak berapa, Mbak?”

“ Satu, Bu. Laki-laki,”

“ Wah beruntungnya.”

Nah, sampai di pertanyaan ini saya berharap perkenalan basa-basi dicukupkan. Tapi biasanya, harapan itu meleset.

“ Suami kerja dimana, Mbak? PNS juga?”

“ Saya sendiri, Bu. Kebetulan sudah berpisah dengan suami.”

(Si Ibu menunjukkan mimik terkejut, dengan alis bertaut, mata melebar…)

“ Lho, kenapa?”

(Tentu saja sambil harap-harap cemas akan meluncur satu cerita bak sinetron yang akan menghibur sisa harinya.)

Saya tersenyum, tidak menjawab, dengan harapan si ibu tahu itu bukan urusannya dan berhenti bertanya. 
Tapi…sekali lagi…biasanya dugaan saya meleset.

“ Aduh, Mbak, padahal Mbak cantik masih muda lagi …” (pancingan pertama)

Saya masih mempertahankan senyum

“ Sudah lama ya? Mbak belum menikah lagi?”

Saya masih berjuang mempertahankan senyum, biasanya hanya menggeleng

“Tidak, Bu.”

Si Ibu, tak kalah teguh berjuang mengorek cerita

“ Anaknya bagaimana, tinggal dengan siapa?”

Saya mulai jengah dan dongkol

“ Dengan saya, Bu. Kejadiannya sudah lama, kok. Saya sudah lupa” (senyum sudah mulai masam)

Si ibu memandang dengan wajah super prihatin, entah tulus entah dibuat-buat, lalu keluarlah ucapan…

“Duh, kasihan…padahal masih muda, lho…”

Jreeenggg…dan saya berharap angkot belok ke neraka…

Stigma pertama yang biasanya dilekatkan masyarakat pada para ibu tunggal adalah kami patut dikasihani. Saya mulai menjalani kehidupan sebagai orang tua tunggal di usia yang relatif muda, dan mendapat curahan ungkapan ‘dikasihani’ dalam berbagai bentuk, baik ucapan maupun tatapan mata menghiba. Sungguh tidak mudah. Tidak mudah karena itu mengkerdilkan spirit dan menyuburkan perasaan tidak berdaya.

Jelas saya perlu bantuan. Kami, para ibu tunggal membutuhkan support system yang kuat untuk menjalani kehidupan hari demi hari. Tapi kami juga memiliki dan tengah membangun kekuatan kami. Kami juga tengah membangun kepercayaan diri yang sempat runtuh akibat perpisahan. Terlalu sering dikasihani hanya melemahkan upaya yang sedang kami lsayakan. Tak jarang saya mendapati seorang perempuan yang baru saja menyandang status sebagai single parent memilih menarik diri dan menolak banyak bercerita tentang statusnya. Karena memang sungguh tidak nyaman menerima tanggapan yang dipenuhi rasa kasihan.

Stigma kedua yang lekat pada kami adalah…. kami selalu dan terus-menerus dicap kesepian sepanjang waktu. Oleh karenanya, kami perlu secepatnya menemukan pendamping hidup lagi. Kami harus cepat-cepat menikah lagi. Pernahkah terbayang bahwa seringnya itu adalah hal terakhir yang ada di benak single moms seperti kami? Kami sudah terlampau sibuk menata ulang hidup kami, mencari peluang untuk menstabilkan kondisi finansial, merancang karir, melamar pekerjaan, membuka usaha. Pikiran dan energi kami sudah tersita untuk mendampingi anak menghadapi dan melewati masa transisi pasca-perpisahan kedua orang tuanya. Belum lagi harus jungkir balik agar operasional kehidupan sehari-hari bisa berjalan dengan mulus. 

Memang, di akhir hari, saya akui kadang saya ingin ada kawan bertukar cerita tentang hari yang saya lalui. Saya menerima itu sebagai bagian dari kehidupan yang saya pilih untuk dijalani. Syukurlah selalu ada saja kawan dan sahabat yang bersedia untuk menjadi tempat curhat.

Namun, stigma --ibu tunggal selalu kesepian-- membawa konsekuensi yang tidak mengenakkan. Laki-laki menganggap karena rasa kesepian yang mendera maka kami akan ‘jual murah’. Perlu dihibur, ditemani, kalau perlu dijadikan pacar gelap. Perempuan (baca: para istri) menganggap kami identik dengan wanita penggoda, yang siap menggoda laki-laki, para suami, karena kesepian kami. Jadi, kami ini perlu diwaspadai. Masalahnya, stigma ini makin diperkuat dengan banyaknya cerita film atau sinetron yang melukiskan para janda sebagai perempuan muda cantik seksi yang kesepian, rapuh dan patut dikasihani…

Stigma ketiga adalah anak-anak dari keluarga dengan orang tua tunggal lekat dengan predikat anak yang kurang kasih sayang, sehingga besar kemungkinan akan tumbuh jadi anak bandel, sekolahnya asal-asalan, ada gangguan kepribadian, bahkan kriminil.

Masalahnya adalah, tak banyak yang bisa dilakukan untuk menepis stigma-stigma yang melekat pada kami. Membantahnya dengan melawan secara verbal, atau memberi penjelasan berulang-ulang kadang hanya akan membuat lelah dan semakin jengkel. Setelah beberapa tahun, saya masih melakukan uji coba berbagai cara untuk mengatasi stigma yang melekat pada saya sebagai single mom.

Jelas, perlawanan utama adalah dengan membuktikan yang sebaliknya. Khusus stigma broken home, selain berdialog dengan anak, saya juga telah mengajari anak beberapa hal.

Lalu untuk mengatasi kecenderungan dikasihani, saya memperlakukan hal yang sama dengan yang saya ajarkan kepada anak. Hanya bersikap terbuka dan menceritakan yang sesungguhnya pada orang penting dalam kehidupan kami. Awalnya saya bersikukuh mengatakan saya single parent kepada siapa pun, karena idealisme tidak ingin menafikan kenyataan. Tapi justru untuk alasan praktis, itu ternyata sama sekali tidak praktis. Jadi supaya percakapan yang tidak perlu tidak memanjang apalagi dengan orang yang tidak dikenal, saya akan menjawab suamiku X bekerja di Y. Titik.

Sedangkan untuk mengatasi stigma single mom kesepian sehingga ‘jual murah’, ‘perempuan penggoda’, etc, saya berusaha untuk tidak memberikan kesempatan apa pun kepada yang sudah menikah atau punya kekasih, dan hanya --misalnya-- pergi makan siang dengan yang lajang saja di saat jam kantor, serta memastikan bahwa tidak ada anggapan lain selain pertemanan, serta hanya urusan kerjaan. Titik.

Sepanjang pengalaman saya, para lelaki lajang yang kadang usianya lebih muda justru tidak ‘berbahaya’. Niat mereka biasanya murni pertemanan. Justru yang kerap harus diwaspadai adalah lelaki setengah baya ke atas, eventhough dia sudah S-2, S-3, sebagai pendidik juga, semua itu gak ngaruh.

Biasanya ini early warning banget untuk diwaspadai. Because all the stories were usually lies! Bagaimana saya tahu? Because I’ve been there..

Oleh karenanya, wahai para single moms, kita tidak bisa memaksa orang untuk memahami keadaan kita yang sebenarnya. Tapi kita punya hak untuk tidak hidup dalam stigma yang terlanjur dilekatkan oleh masyarakat kepada kita.

Keep fighting
Stay calm and be a happy mom!

No comments:

Post a Comment