SEBANYAK
13
orang lelaki dengan tubuh tegap, berseragam
marinir putih-putih dan wajah serius, berbaris rapi di atas bentangan karpet
merah di tengah-tengah venue sebuah acara. Di pinggang kiri mereka, terselampir
sebuah pedang. Panjangnya lumayan. Dibungkus sarung logam berwarna perak,
pedang itu tampak anggun.
Beberapa saat lamanya, mereka
pada posisi yang sama: pandangan mata tegak ke depan, kaki tegap agak terbuka
dan telapak tangan bertemu di belakang tubuh. Mereka menunggu aba-aba. Tada
dimulainya prosesi wisuda.
Ya, saat itu memang
acara wisuda. Tepatnya bagi 134 orang lulusan Kampus Prasetiya Mandiri Lampung.
Para lelaki gagah berseragam itu adalah pasukan pedang pora yang membuka
seluruh rangkaian acara wisuda tanggal 19 Desember 2016 itu.
Tapi aba-aba bukanlah satu-satunya
yang mereka tunggu hakekatnya. Sebab, aba-aba pun masih harus menunggu momentum,
situasi, dan yang pasti menunggu kedatangan anggota Senat PMG bersama pejabat
terkait.
Seorang lelaki lain
berjubah kebesaran senat dan bertoga memimpin para senat yang berbaris rapi di
belakangnya. Membawa sebuah paddle stick, dia memberikan aba-aba, ”Prosesi
Senat PMG Lampung memasuki tempat acara wisuda.”
Dan komandan pasukan
pedang pora pun bersegera menyiapkan pasukannya. Itulah aba-aba pertama bagi
mereka. Aba-aba demi aba-aba lainnya pun runut menyusul diikuti gerakan
serempak, tegas dan serba patah-patah tapi sangat anggun dari semua anggota
pasukan.
Lelaki-lelaki
berseragam putih-putih itu pun tampak tegas menjalankan tugasnya. Pedang yang
menggantung di pinggang kiri mereka, dihunus. Lalu pedang-pedang itu
dimoncongkan ke depan dengan posisi diagonal ke depan atas kepala.
Ketua dan para anggota
senat beserta pejabat undangan berjalan pelan-pelan di bawah rangkaian pedang
di depan mereka. Perlahan-perlahan, pedang yang menghadang jalan dan sudah
dilalui senat mulai diturunkan kembali. Ke posisi dimoncongkan tapi ke bawah
dan diagonal ke depan.
Dengan gerakan yang sedemikian rupa, pedang-pedang yang terhunus itu bisa dilewati anggota senat, tanpa menyentuh sehelai rambut pun.
Itulah prosesi yang disebut Pedang Pora. Sebuah tradisi di kalangan militer untuk menandai suatu pelepasan. Upacara pedang pora tersebut sukses menandai dan mengakhiri prosesi wisuda PMG Lampung periode 2015/2016 ini.
Para pasukan pedang pora itu, tak lain dan tak bukan adalah mahasiswa PMG Lampung sendiri. Mereka tercatat sebagai mahasiswa atau taruna STIM Mutiara Jaya-Prasetiya Mandiri Lampung Prodi KPNK dan Teknik Perkapalan. Mereka menjalankan upacara pedang pora untuk melepas kakak tingkatnya, para lulusan PMG Lampung.
Kesuksesan upacara
pedang pora tersebut tak luput dari buah kerja keras tim pelatih dan Direktur
PMG Lampung Dr. H. Suheriyatmono, S.E., M.M., Ak., CA. Menurut Koordinator Tim
Pedang Pora Ir. Prayudi, pasukan pedang pora dilatih selama beberapa hari
sebelum Hari H wisuda dengan disiplin dan gigih.
Sementara Kaprodi KNPK
Kristina Agustiani, S.Pel. yang juga salah satu tim pelatih pedang pora,
menambahkan bahwa cara melepas pedang dari sarungnya, menghunus dan
menyarungkan pedang kembali ada tata cara dan filosofinya. “Semuanya sesuai
dengan tata cara militer,” ujarnya di sela-sela latihan yang didampingi tim
pelatih dari marinir dan taruna SMK Satria Bahari.
“Ada banyak simbol
dalam ritual ini. Yaitu melambangkan persaudaraan, solidaritas, permohonan
perlindungan pada Tuhan, dan sebagainya,” tambahnya. Upacara pedang pora itu sebenarnya
simpel tapi bagaimana pun juga tetap mengundang perhatian orang-orang.
Buktinya, saat wisuda
PMG tersebut. Para tamu menyikapi acara itu dengan sikap anteng, konsentrasi
dan hampir speechless. Agaknya momen langka itu tak hendak dilepas begitu saja.
Juru foto dan kamera pun menjadikan prosesi itu sebagai lahan jepretan yang tak
sudah-sudah.
“Pedang Pora adalah
sebuah tradisi. Tapi sebagai tradisi, ia tak identik dengan nilai tradisional.
Itu terlihat dengan tak dibenturkannya nilai-nilai itu dengan jaman yang kian
jadi modern. Buktinya, Pedang Pora bisa berlangsung di mana pun,” kata Kristina.
Prosesi yang penuh
filosofi itu berlangsung di antara sekian tamu yang bisa jadi simbol kaum urban.
Di ruang pertemuan yang artistik, dengan jepretan kamera foto dan sorot lampu kamera
video yang mengesankan itu acara pesta mewah.
Di tengah gaun-gaun kebaya
yang nasionalis dan busana jas yang modern, dandanan yang penuh polesan dan
tutur bahasa santun master of ceremony yang di-mix antara bahasa Inggris dengan
bahasa Indonsia. Semua tetap saja bisa “masuk” dengan prosesi pedang pora.
Meski berbagai
“nilai” terkandung dalam ritual itu, Pedang Pora, lebih dekat pada sebuah
bentuk kedisiplinan dan sumber kemurnian ilmu pengetahuan. Ini sebagaimana
salah satu prinsip dari ketujuh kenladi lembaga PMG Lampung.
No comments:
Post a Comment