Monday, February 29, 2016

Pedang Pora, Tak Sekadar Pesta Pora


SEBANYAK 13 orang lelaki dengan tubuh tegap, berseragam marinir putih-putih dan wajah serius, berbaris rapi di atas bentangan karpet merah di tengah-tengah venue sebuah acara. Di pinggang kiri mereka, terselampir sebuah pedang. Panjangnya lumayan. Dibungkus sarung logam berwarna perak, pedang itu tampak anggun. 

Beberapa saat lamanya, mereka pada posisi yang sama: pandangan mata tegak ke depan, kaki tegap agak terbuka dan telapak tangan bertemu di belakang tubuh. Mereka menunggu aba-aba. Tada dimulainya prosesi wisuda.

Ya, saat itu memang acara wisuda. Tepatnya bagi 134 orang lulusan Kampus Prasetiya Mandiri Lampung. Para lelaki gagah berseragam itu adalah pasukan pedang pora yang membuka seluruh rangkaian acara wisuda tanggal 19 Desember 2016 itu.

Tapi aba-aba bukanlah satu-satunya yang mereka tunggu hakekatnya. Sebab, aba-aba pun masih harus menunggu momentum, situasi, dan yang pasti menunggu kedatangan anggota Senat PMG bersama pejabat terkait.

Seorang lelaki lain berjubah kebesaran senat dan bertoga memimpin para senat yang berbaris rapi di belakangnya. Membawa sebuah paddle stick, dia memberikan aba-aba, ”Prosesi Senat PMG Lampung memasuki tempat acara wisuda.”

Dan komandan pasukan pedang pora pun bersegera menyiapkan pasukannya. Itulah aba-aba pertama bagi mereka. Aba-aba demi aba-aba lainnya pun runut menyusul diikuti gerakan serempak, tegas dan serba patah-patah tapi sangat anggun dari semua anggota pasukan.

Lelaki-lelaki berseragam putih-putih itu pun tampak tegas menjalankan tugasnya. Pedang yang menggantung di pinggang kiri mereka, dihunus. Lalu pedang-pedang itu dimoncongkan ke depan dengan posisi diagonal ke depan atas kepala.

Ketua dan para anggota senat beserta pejabat undangan berjalan pelan-pelan di bawah rangkaian pedang di depan mereka. Perlahan-perlahan, pedang yang menghadang jalan dan sudah dilalui senat mulai diturunkan kembali. Ke posisi dimoncongkan tapi ke bawah dan diagonal ke depan.


 

Dengan gerakan yang sedemikian rupa, pedang-pedang yang terhunus itu bisa dilewati anggota senat, tanpa menyentuh sehelai rambut pun.      

Itulah prosesi yang disebut Pedang Pora. Sebuah tradisi di kalangan militer untuk menandai suatu pelepasan. Upacara pedang pora tersebut sukses menandai dan mengakhiri prosesi wisuda PMG Lampung periode 2015/2016 ini.

Para pasukan pedang pora itu, tak lain dan tak bukan adalah mahasiswa PMG Lampung sendiri. Mereka tercatat sebagai mahasiswa atau taruna STIM Mutiara Jaya-Prasetiya Mandiri Lampung Prodi KPNK dan Teknik Perkapalan. Mereka menjalankan upacara pedang pora untuk melepas kakak tingkatnya, para lulusan PMG Lampung.
Kesuksesan upacara pedang pora tersebut tak luput dari buah kerja keras tim pelatih dan Direktur PMG Lampung Dr. H. Suheriyatmono, S.E., M.M., Ak., CA. Menurut Koordinator Tim Pedang Pora Ir. Prayudi, pasukan pedang pora dilatih selama beberapa hari sebelum Hari H wisuda dengan disiplin dan gigih.

Sementara Kaprodi KNPK Kristina Agustiani, S.Pel. yang juga salah satu tim pelatih pedang pora, menambahkan bahwa cara melepas pedang dari sarungnya, menghunus dan menyarungkan pedang kembali ada tata cara dan filosofinya. “Semuanya sesuai dengan tata cara militer,” ujarnya di sela-sela latihan yang didampingi tim pelatih dari marinir dan taruna SMK Satria Bahari. 

“Ada banyak simbol dalam ritual ini. Yaitu melambangkan persaudaraan, solidaritas, permohonan perlindungan pada Tuhan, dan sebagainya,” tambahnya. Upacara pedang pora itu sebenarnya simpel tapi bagaimana pun juga tetap mengundang perhatian orang-orang.

Buktinya, saat wisuda PMG tersebut. Para tamu menyikapi acara itu dengan sikap anteng, konsentrasi dan hampir speechless. Agaknya momen langka itu tak hendak dilepas begitu saja. Juru foto dan kamera pun menjadikan prosesi itu sebagai lahan jepretan yang tak sudah-sudah.

“Pedang Pora adalah sebuah tradisi. Tapi sebagai tradisi, ia tak identik dengan nilai tradisional. Itu terlihat dengan tak dibenturkannya nilai-nilai itu dengan jaman yang kian jadi modern. Buktinya, Pedang Pora bisa berlangsung di mana pun,” kata Kristina.

Prosesi yang penuh filosofi itu berlangsung di antara sekian tamu yang bisa jadi simbol kaum urban. Di ruang pertemuan yang artistik, dengan jepretan kamera foto dan sorot lampu kamera video yang mengesankan itu acara pesta mewah.


Meski berbagai “nilai” terkandung dalam ritual itu, Pedang Pora, lebih dekat pada sebuah bentuk kedisiplinan dan sumber kemurnian ilmu pengetahuan. Ini sebagaimana salah satu prinsip dari ketujuh kenladi lembaga PMG Lampung.

No comments:

Post a Comment